Dikutip dari voaindonesia.com, Nur Hasyim (Direktur Rifka
Annisa, organisasi pembela hak-hak perempuan di Yogyakarta) menyebutkan, angka
kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia sangat tinggi.
Menurut data Rifka Annisa sendiri, rata-rata per harinya
ada satu perempuan korban kekerasan yang mengadu. Bahkan dalam enam tahun
terakhir, lebih dari 1.500 kasus dilaporkan. 227 di antaranya merupakan kasus
perkosaan dan 128 kasus pelecehan seksual. Sisanya adalah kekerasan dalam rumah
tangga, hubungan berpacaran, keluarga, dan lain-lain.
Jumlah faktualnya diyakini jauh lebih tinggi karena
perempuan masih enggan melaporkan kasus perkosaan atau pelecehan seksual yang
dialaminya. Fakta ini membuat kita bertanya-tanya. Mengapa cewek lebih sering
dijadikan korban pelecehan seksual dibandingkan cowok?
Pelecehan seksual biasanya terjadi di tempat umum yang
sempit yang memungkinkan terjadinya gesekan dan sentuhan antara lawan jenis
seperti kereta commuter, bis kota dan angkutan kota.
Pelakunya umumnya adalah laki-laki dan korbannya adalah
perempuan. Siapa yang patut disalahkan? Secara hukum, yang salah adalah pelaku.
Pada setiap perbuatan kejahatan, maka yang harus disalahkan adalah pelaku dalam
hal ini laki-laki. Itulah sebabnya, yang diinterogasi dan ditahan oleh polisi
dalam kasus pelecehan seks atau perkosaan adalah laki-laki sebagai pelaku,
bukan perempuan sebagai korban. Adakah kasus pelecehan di mana korban
disalahkan oleh pihak penegak hukum? Tidak ada.
Alasan umum yang biasa di katakan oleh para pelaku atau
masyarakat cewek selalu dianggap sebagai pihak yang mengundang nafsu cowok. Anggapan
anda bahwa wanita yang disalahkan mungkin ditinjau dari perspektif sosial
masyarakat. Secara nilai sosial, memang masyarakat menginginkan agar wanita
berpakaian elegan dan etis dengan cara tidak membuka auratnya atau memakai baju
yang sangat ketat dan seksi sampai ke level yang membuat laki-laki terstimulasi
nafsu syahwatnya.
Tentu adalah hak perempuan itu sendiri untuk berpakaian
menurut kemauan mereka, akan tetapi etika sosial dan tuntunan agama mengajarkan
agar perempuan (dan laki-laki) memakai baju yang pantas di tempat umum.
Katanya, cewek berbaju minim bikin cowok suka “usil”.
Kalau memang begitu, mengapa ada korban nenek-nenek? Cewek seringkali
diperingati untuk tidak menggunakan pakaian terbuka. Mulai dari rok mini, baju
dengan belahan dada rendah, hingga pusar yang terbuka. Pakaian-pakaian macam
inilah yang digadang-gadang dapat meracuni pikiran cowok dengan keinginan
jahat. Tapi, kenyataannya tidak selalu demikian.
Kita pernah mendengar kasus nenek-nenek yang diperkosa
oleh anak muda. Ada pula ayah yang memperkosa anaknya sendiri yang masih kecil.
Ada pula cewek berhijab yang dilecehkan oleh cowok-cowok tak bertanggung jawab.
Apakah ini bisa jadi bukti kalau berpakaian minim adalah penyebab banyaknya
pelecehan seksual pada cewek?
Lantas apakah ini merupakan pendidikan menjadi salah satu
alasan mengapa kekerasan seksual terjadi? Tentu, pendidikan sendiri tidak hanya
menyangkut bidang study alam dan sebagainya yang ada pada sekolah. Namun yang
paling utama perlu di tekankan pada pendidikan sosial yang seharusnya tidak
hanya diajarkan saat disekolah namun di ajarkan pula di lingkungan keluarga
dimana kita menghabiskan waktu lingkungan keluarga sendiri. Orang tua yang
bertindak sebagai guru saat dirumah dan menjadi pengawas anak saat dilingkungan
rumah. Karena setelah anak tidak berada dilingkungan sekolah lagi berarti semua
tindakan yang dilakukan bukan tanggung jawab guru lagi.
Namun Anggota Komisi VIII DPR RI Achmad Mustaqim menilai
pernyataan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP PA) Yohanna
Yambise, yang menyalahkan orangtua dalam kasus kekerasan seksual sangat tidak
tepat.
Ia menegaskan, Menteri Yohanna perlu melihat masalah
tersebut secara komprehensif. Sehingga, orangtua tidak bisa dijadikan alasan
terjadinya kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak.
“Itu menurut saya bukan sebuah pernyataan yang tepat,”
ujar Mustaqim saat dihubungi di Jakarta, Selasa (31/5).
Seharusnya negara, lanjut dia, dalam hal ini pemerintah turut
hadir dalam proses menjaga rasa aman setiap warganya, agar keluarga tidak
menjadi halangan seseorang untuk bepergian dan juga tanpa rasa takut.
“Setiap keluarga, ayah, ibu, anak, kan mempunyai
kewajiban masing-masing. Maka wajar orangtua tidak ada saat kejadian karena
sedang mencari nafkah,” tutur Legislator asal Jawa Tengah ini.
Apalagi, sambungnya, kejadian kasus kekerasan seksual
tersebut disebabkan karena pelaku sebelumnya menenggak minuman keras.
“Apakah pemerintah sudah hadir dalam melakukan perlindungan?
Saya lihat pemerintah masih kurang. Untuk itu masuk akal jika masalah alkohol
yang UU-nya sedang dibahas itu mengalami kendala, karena pemerintah tak mendukung
dari aspek larangan,”
“Ini situasi yang anomali. Negara hadir tetapi disisi
lain negara juga tidak konsen terhadap penimbul hal yang membahayakan,” ungkap
Politisi PPP itu.
Mustaqim kembali mengingatkan pernyataan Menteri Yohana
sangatlah tidak tepat. Ia meminta agar menteri tersebut lebih konsen terhadap
penyebab timbulnya kekerasan seksual.
“Itulah keteledoran pemerintah, tak beri rasa kemanan
bagi warga. Andaikan ini dibiarakn bisa dibayangkan berapa juta anak yang tak
sadar terintai resiko akibat negara tak mengayomi,” tandasnya.
Ada banyak pihak membuat kekerasan seksual terjadi yaitu
pelaku itu sendiri, korban yang kurang hati hati, pendidikan yang kurang dan
pemerintah yang kadang tidak memberikan rasa aman pada masyarakat. Tapi dari
pada menyalahkan orang lain mengapa kita tidak introspeksi diri sendiri jangan
lengah dan jangan sampai kita termakan oleh nafsu jahat.
Sumber
:
http://www.aktual.com/kekerasan-seksual-bukan-salah-orangtua-tapi-pemerintah-tak-beri-rasa-aman/
http://www.alkhoirot.net/2014/11/yang-salah-dalam-pelecehan-seksual-laki.html
http://www.idntimes.com/vita/kenapa-sih-cewek-lebih-sering-jadi-korban-pelecehan-seksual-dibandingkan-cowok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar